TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat terorisme Noor Huda Ismail
menilai ada pergeseran pola cara penyerangan kelompok teroris belakangan
ini menyusul terjadinya serangan terhadap Markas Kepolisian Resor
Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (22/9) dini hari.
Noor Huda yang menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti
Perdamaian ini menjelaskan, cara penyerangan teroris sebelumnya lebih
sering menggunakan bom bunuh diri. Kini para pelaku menggunakan senjata
api dengan menyerang sasaran secara membabi buta.
"Ada semacam pergeseran perang secara terbuka terhadap aparat
keamanan. Kelompok pelaku merasa cukup mampu melakukan aksinya," kata
Noor Huda kepada Tempo, Rabu (22/9).
Pergeseran pola penyerangan secara terbuka itu, ujar Noor Huda,
sebagai ancaman serius bagi pemerintah dalam memberantas aksi terorisme
ke depannya. Ancaman dengan pola seperti itu masih akan terus terjadi.
Menyangkut lokasi penyerangan terjadi di Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara, Noor Huda mengatakan hal tersebut karena tempat tersebut
secara geografis paling dekat dengan wilayah yang belakangan ini
menjadi sasaran Detasemen Khusus 88 dalam memburu teroris.
Lebih jauh ia mengatakan, berdasarkan asumsi publik yang berkembang
belakangan ini, motif pelaku melakukan serangan seperti itu karena
mereka menganggap Densus 88 sebagai bagian dari aparat pemerintahan yang
sekuler yang harus diperangi.
Densus juga dianggap sebagai antek-antek Amerika Serikat dan
Australia yang mempunyai kepentingan bisnis besar di Indonesia. "Kedua
negara itu harus menjaga kepentingannya dengan baik di sini," ujarnya.
Selain itu, tambah dia, Densus dianggap telah sangat banyak melanggar
hak asasi manusia.
BASUKI RAHMAT
0 komentar:
Posting Komentar