Senin, 29 November 2010

Sungai Penuh Online : Jangan Bunuh si Penyampai Kabar

MUNGKIN memang benar, pena lebih tajam daripada pedang. Karena itulah, Narendra Prabangsa dibunuh di Indonesia, Anna Politkovskaya ditembak di Rusia, Nyi Nyi Tun disiksa di Myanmar, dan Alan Shadrake terancam dipenjara di Singapura. Mereka adalah sebagian di antara pelaku kisah sedih yang dialami jurnalis di berbagai penjuru dunia.
Sebagian? Ya, karena sepanjang 2009 saja, PBB mencatat 70 wartawan (cetak dan elektronik) yang tewas saat bertugas. Jumlah itu meningkat 62 persen daripada tahun sebelumnya. Yang menyedihkan, menurut catatan Committee to Protect Journalist yang berbasis di Amerika Serikat, mayoritas tindak kekerasan kepada para juru warta selama ini terjadi bukan karena kecelakaan.
Tapi, akibat langsung kegiatan jurnalistik yang mereka lakukan. Catat juga ini: mayoritas kasus tersebut tidak pernah sampai ke meja hijau! Nyi Nyi Thun dan Alan Shadrake adalah contoh terbaru jurnalis yang menjadi korban. Nyi, editor di harian Kandarawaddy, Myanmar, ditahan sejak tahun lalu oleh rezim militer setempat.
Awal pekan ini, dia divonis penjara 13 tahun. Nyi dituding melakukan kejahatan kepada negara karena menyiarkan berita yang terkait dengan Mizzima, grup media yang berasosiasi dengan kelompok perlawanan bentukan warga Myanmar di pengasingan. Yang mengenaskan, menurut keluarganya, Nyi disiksa selama berada di penjara.
Shadrake juga terancam penjara dua tahun di Singapura sematamata karena menulis buku tentang sistem peradilan di Negeri Singa itu. Di sidang yang dimulai pekan lalu, wartawan asal Amerika Serikat itu dianggap mencemarkan sistem peradilan negeri yang menjadi sarang banyak koruptor Indonesia tersebut.
Anarkisme juga tiada henti menimpa para wartawan Indonesia. Sepanjang Mei–September 2010, Tempo Interaktif mencatat enam penganiayaan, ancaman, bahkan pembunuhan kepada para jurnalis. Korban meninggal adalah dua wartawan televisi lokal, Ardiansyah Matrais di Merauke dan Ridwan Salamun di Tual.
Mengapa masih saja ada yang memilih penggunaan senjata untuk menghentikan pena? Mengapa itu bisa terus terjadi di era ketika demokrasi menang di mana-mana?
Mungkin justru di situ persoalannya: rezim-rezim otoriter tumbang, demokrasi menang, tetapi tanpa kesiapan banyak pihak untuk menerimanya.
Militer, misalnya. Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, memenangi pemilu Myanmar 1990. Tetapi, junta militer setempat menganulir kemenangan itu. Selasa lalu (2/11), militer Iraq juga menduduki paksa stasiun televise Al Baghdadiya dengan dalih terlibat terorisme. Padahal, alasan sebenarnya cuma stasiun tersebut pernah mengadakan kontak telepon dengan penyerbu Gereja Katolik Sayidad al-Nejat yang dikepung tentara.
Bukan hanya militer, publik yang belum dewasa juga belakangan tumbuh menjadi salah satu musuh utama pers. Ridwan Salamun tewas karena dianiaya massa saat meliput bentrokan antarwarga. Tahun lalu, 30-an lebih jurnalis di Mindanao, Filipina, juga dibantai kelompok sipil bersenjata ketika mengantar seorang kandidat gubernur mendaftar.
Semua itu sudah pasti amat menyayat hati. Tentu, wartawan juga tidak luput dari salah. Tetapi, ada mekanisme yang beradab untuk mengoreksi. Ingat, demokrasi yang sehat butuh pers yang bebas. Jadi, seperti kata Shakespeare, don’t shoot the messenger. Jangan bunuh si penyampai kabar. Sebab, ide tidak akan pernah bisa mati hanya karena tikaman belati. (*)

Artikel yang berkaitan




0 komentar:

Posting Komentar



Bagi yang ingin belajar PHP / HTML / MySQL Dan ingin membuat WEBSITE SENDIRI dengan sangat Mudah dan Murah sambil langsung praktek, Saya rekomendasikan anda belajar DI SINI atau DI SINI «« di klik biar situsnya keluar, 4 langkah Mudah dan 3 langkah JITU Murah dan Mudah Membuat WEBSITE. D12UL. D12UL


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More